Seri Tim Burton #1: Naskah (Part I)

1
392

Hula Sobat Mondi, selamat datang! Di segmen ini, Admin akan full ngebacot soal sutradara nyentrik kelewat gothic kesayangan Hollywood: Papap Tim Burton. Di sini, lo akan diajak untuk mengungkap metode yang dipakai Papap sebagai konseptor, produser, sutradara, dan animator. Lebih jauh lagi, lo akan dibikin njawab sendiri mitos soal Papap, whether dia beneran asli dark abis atau nggak. Semoga bisa ngebantu dalam memulai penggarapan film lo, ya!

***

“KOK GUE NULIS NASKAH GAK MULAI DARI LOGLINE, YA?”

Sebelum gue mulai ngomong apa pun, kalian uda tau logline itu apa belum? Bukan ngecengin loh, gue juga baru belakangan tau logline itu apa hahaha. Gue coba analogiin pake tulisan artikel, ya.

Dalam struktur tulisan artikel, ada yang namanya gagasan pokok. Di dunia akademik, namanya thesis statement alias pernyataan tesis. Dia itu isinya satu kalimat, minimal Subjek Predikat, yang menjelaskan pesan utama dari artikel lo tulis.

Dalam struktur tulisan naskah, gagasan pokok ini namanya logline. Udah pernah nonton “Posesif” (2017)-nya Edwin belum? Logline-nya mungkin gini kira-kira:

Pengalaman cinta pertama cewek SMA terhadap anak baru di sekolahnya bikin dia pingin pacaran sama si cowok selamanya, tapi cowoknya posesif dan abusif, sehingga dia harus milih antara bertahan atau meninggalkan.

Logline asli dari Mas Edwinnya gue gatau sih haha. Tapi gitu lah kira-kira. Satu kalimat pertama sebagai tulang punggung, ide dasar yang akan dikembangkan jadi narasi utuh untuk naskah film lo.

Masalahnya, konon banyak orang yang merasa kesulitan mulai dari logline. Salah gak sih? Ceroboh gak sih? Proper gak sih mulai dari unsur lain yang bukan logline?

BERANGKAT DARI KARAKTER

Temen gue, misalnya, mulainya justru dari karakter. Misalnya dia tiap berangkat kantor ngeliat ada bapak-bapak tua yang selalu duduk di satu halte, gak pindah-pindah, bajunya sama terus, sampe buluk. Setelah itu berkembang cerita di kepala dia. Kira-kira bapaknya itu rumahnya di mana ya? Keluarganya gimana ya? Punya keluarga gak ya? Duduk di situ ngapain? Makan pake apa ya? Seharian ngapain ya?

Oke itu sekadar temen gue yang entah siapa dan entah kredibilitasnya gimana ya. Umurnya juga masih muda, sama-sama suka galau kayak gue, oke anggap dia tidak cukup kredibel untuk jadi patokan. Coba kita tanya Papap Tim Burton, ya.

Walaupun rambut dia bikin kita curiga dia gak pernah keramas, dan karya-karya dia dark bener sampe bikin kita curiga dia pernah one point in his life eksperimen nyongkel mata orang buat ngebangun cerita di filmnya, seyogyanya Papap Tim Burton adalah pribadi yang kebapakan dan sungguh teramat halus hatinya — mbaca wawancara dia di buku “The Directors — Take Three” yang ditulis Om Robert J. Emery, coba lo google aja (2003; 175-195), bikin gue sampe mengalami baper level father issue terhadap Papap…

Kita perlu banget inget bahwa si Papap Burton lahir dan bertumbuh kembang dalam keluarga menengah suburban di Burbank, California. Walaupun di sana ada Universal Studio, Warner Bros, hingga Disney, kota masa kecilnya itu kayak kosong aja kosong.

Ada kesenjangan antara lokasi wisata dan masyarakat lokal Burbank. Area Hollywood-ish di Burbank kayak surga. Sedangkan kota Burbank yang sebenar-benarnya justru dingin dan flat kalau menurut si Papap. Gak ada konteks emosional dan kultural yang kuat. Kayak kanvas kosong.

Maka diisi lah oleh Burton. Burton kecil sebenernya sama kayak anak SD pada umumnya. Kita pas SD juga sama toh, demen nyoret-nyoret gambar Naruto atau Doraemon atau kucing bunting di mana-mana, dari buku catetan pribadi sampai kertas ujian UN. Burton juga gitu (bedanya gak move on aja sampe uda bangkotan masih nyorat-nyoret bae).

Karena basic dia ngegambar, dan dia terpesona sama bagaimana film bekerja, dan fantasi-fantasi silau yang ditawarkan Hollywood di kota kelahirannya, dan dia liat kotanya bosenin banget, blas dah. Dia jadi suka ngebayangin dan ngegambar kemungkinan-kemungkinan fantastis dari kotanya di atas kertas gambar. Karakter-karakter aneh dan eksentrik yang mungkin mewarnai kotanya. Yang mungkin bikin kotanya hidup. Dinamis. Ramai. Waow.

PEE-WEE: TIM BURTON’S BIG ADVENTURE

I responded to the character,” kata Papap pas ditanya cara dia ngegarap naskah “Pee-Wee’s Big Adventure” (1985). Buat dia, film Pee-Wee ini film sempurnya yang pertama, dan salah satunya karena naskahnya, buat doi, gokil abis. Dan itu, seperti kebiasaannya dari bocah, dimulai dari karakter.

You have an established character [Pee-Wee], how do you best support him in the world?

 — GEMES GAK SIH DIA BILANG GITU DONG.

Jadi lo punya satu karakter imajinasi di kepala lo. Dari yang awalnya lo cuma tau tu karakter cowok yang suka pake jas rapi ke mana-mana naik sepeda, sampai tiba-tiba dia jadi sahabat baik lo dalam kepala. Lo tiba-tiba jadi kenal dia. Lo tau dia lahir di mana, dari keluarga seperti apa, paling takut sama apa, kepribadiannya gimana, makanan kesukaannya apa, tai lalatnya ada berapa, mimpi basah pertamanya apa, dan seterusnya.

Dan kata Papap, dengan karakter yang seutuh itu, lo kudu mendukung eksistensi si karakter itu di dunia yang jahat ini. Gimana cara menyokong dia dalam dunianya? Dunia yang seperti apa? Dengan karakter yang utuh, maka lo butuh dunia yang utuh juga. Utuhnya bagaimana? Utuhnya dari sudut pandang di karakter yang udah jadi sahabat di kepala lo itu. Terbatas gak sih? Imajinasi wis jangan sampai terbatas ya sayang, jangan sampai ada polisi moral yang ngedikte ide-ide lo yang brilian. TAPI ADA GAK ADA CUAN TENTU MEMBATASI EKSEKUSI IDE LO HEHEHE.

Alias, dunia yang hendak lo bikin dalam film itu diperkirakan lah sama budget produksinya. Kalo pas bikin dunianya si Pee-Wee ini, alhamdulillah Papap dapet 4 juta dolar ya ketika itu. Buat gue sih gede banget ya. Kalau buat Papap dan filmmaker pro lain kira-kira mungkin: “yah, bisa lah bro,” gitu kali ya huhu.

Anyway, dari perkiraan budget yang ada itu, segala elemen visual dalam dunia yang mau lo bikin ini kemudian bisa diperkirakan untuk dituangkan ke naskah final yang siap produksi. Lo jadi bisa bayangin treatment naskah macam apa yang cocok lewat perhitungan budget-nya cukup untuk nyewa kamera macem apa, lighting kek gimana, editing secanggih apa, setarts-wardrobe-make up yang bisa se-BM apa.

Bapak banget gak sih ni orang, pengen jadi anaknya :’( walau rambutnya kayak gak pernah keramas :’(

1 COMMENT

Leave a Reply to Seri Tim Burton #1: Naksah (Part II) | Mondiblanc Cancel reply

Please enter your comment!
Please enter your name here