The Vast of Night (2019): Membangun Suspense Lewat Dialog dan Desain Suara

0
76

Salah satu aspek esensial dalam film adalah genre. Berbicara dalam konteks penulisan skenario, genre tidak hanya mengindikasikan sebuah gaya visual tertentu, tetapi genre juga bekerja sebagai indikator bagaimana cerita bergerak dengan membangun sebuah gulungan emosi yang sesuai dengan kebutuhan ceritanya itu sendiri. Torben Grodal (1997) mengatakan bahwa genre akan mencari alat pemancing reaksi kognitif-emosi sebagai bentuk relasi aktif-pasif antara film dan penonton. Reaksi kognitif-emosi setiap orang akan berbeda-beda, sesuai dengan asosiasi yang mereka miliki di otaknya.

“The affective toning is an essential feature of consciousness but has an extra prominence in temporal arts, probably because the mental processes cued in viewers possess a salience and vividness ‘larger than life’, in the sense that cognitions, emotions, memories, and acts are constructed there in a more I concentrated and characteristic way than is typical in everyday life. The emotions and the emotional toning play a very important role in our preferences for visual fiction. A given viewer at a given time will often want to see something funny, lyrical, tense, thrilling, sublime, or tear-jerking. One prominent way (among several others) of categorizing visual fiction in relation to consumer information is by emotion evoked: horror, comedy, melodrama, or thriller.” (Grodal, 1997: 2-3)

“Nada afektif merupakan fitur penting dari kesadaran, namun memiliki keunggulan ekstra dalam seni temporal, mungkin karena proses mental yang ditunjukkan pada pemirsa memiliki arti-penting dan kejelasan ‘lebih besar dari kehidupan’, dalam arti bahwa kognisi, emosi, ingatan, dan tindakan dikonstruksi di sana dengan cara yang lebih terkonsentrasi dan berkarakter daripada yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Emosi dan nada emosional memainkan peran yang sangat penting dalam preferensi kita terhadap fiksi visual. Penonton tertentu pada waktu tertentu sering kali ingin melihat sesuatu yang lucu, liris, menegangkan, mendebarkan, agung, atau mencengangkan. Salah satu cara yang menonjol (di antara beberapa cara lainnya) untuk mengkategorikan fiksi visual dalam kaitannya dengan informasi konsumen adalah dengan membangkitkan emosi: horor, komedi, melodrama, atau thriller.”

Sebagai contoh kasar, bisa dibayangkan bahwa film bergenre dramedi tidaklah mungkin memiliki pencapaian emosional yang membuat penonton ketakutan hingga histeris. Di sisi sebaliknya, film bergenre thriller atau horror walaupun bisa saja memiliki beberapa adegan lucu, tetapi kadar komedi yang ada di sana tidaklah boleh terlalu tinggi hingga merusak tempo emosi yang ingin disasar; yaitu ketegangan, ketakutan, ataupun kengerian.

Disutradarai oleh Andrew Patterson, dan ditulis olehnya sendiri bersama dengan Craig W. Sanger, film The Vast of Night (2019) tercatat secara resmi sebagai film bergenre sci-fi/mystery di IMDB. Hal ini tidak lepas dari tema cerita yang diangkat dalam film, yaitu tentang misteri kebenaran eksistensi “manusia-manusia langit” alias UFO pada era perang dingin di tahun 1950-an yang berlatar sosial di Amerika Serikat. 

Berangkat dari ceritanya, elemen sci fi dalam film ini berkutat di seputar bagaimana UFO menjadi objek asing yang dianggap sebagai fenomena beyond-modern yang dimiliki oleh sebuah peradaban lain di langit. Bersamaan dengan itu, genre misteri ditampilkan melalui bagaimana Everett (Jake Horowitz) dan Fay (Sierra McCormick), dua protagonis yang bekerja sebagai operator perekaman radio malam di kota New Mexico, mencoba mencari fakta dari sebuah cerita misterius tentang eksistensi UFO dan peradaban super modern di luar bumi yang disebut dengan “manusia-manusia langit”.

Tidak semua cerita dalam genre tertentu memerlukan elemen suspense, tetapi semua genre bisa diberikan elemen suspense, yang tentu metode pembangunan dan tipe suspense-nya akan berbeda. Spesifik dalam film The Vast of Night (2019), genre misteri dan sci fi berperan penting dalam analisis tipe suspense seperti apa yang ditampilkan. “Carroll draws an important distinction between suspense and mystery in terms of their temporal orientation. He relates suspense to the uncertainty of what WILL HAPPEN in the narrative future of the story and mystery – to what HAPPENED in its past. This view is very close to Hitchcock’s ideas that suspense and mystery are completely different things.” (Anastasova, 2019). Meskipun secara teoritis, misteri dan suspense adalah dua hal yang berbeda, tetapi spesifik di dalam film The Vast of Night (2019), suspense menjadi medium untuk memainkan dinamika emosi cerita yang sebagian besar disampaikan melalui dialog karakter. Namun bukan berarti suspense dalam film ini hanya melalui dialog. Ada juga beberapa aspek lain yang menunjang penggunaan suspense itu seperti desain suara, dan editing shot. 

Dalam film, suspense sendiri adalah sebuah metode naratif yang digunakan untuk memompa adrenalin penonton ke rasa takut, dan cemas. Dolf Zillmann dalam artikelnya yang berjudul Anatomy of Suspense (1980), mengutip Alfred Hitchcock (the theory of bomb under the table) mengatakan bahwa suspense adalah sebuah masalah yang akan datang dan hanya ada beberapa orang saja yang tahu tentang itu. Untuk mengelaborasi pengertian itu, suspense dalam film dibangun melalui oposisi biner antara penonton dan filmnya, dimana umumnya penonton sudah tahu bahwa ada sesuatu yang buruk akan terjadi, terkadang juga ada beberapa tokoh dalam film yang mengetahui sesuatu itu, sementara di sisi lain ada tokoh-tokoh lain tidak tahu atau tahu tetapi kesulitan mengantisipasi itu.

Selain itu, suspense juga sering dikaitkan dengan surprise, tetapi nyatanya kedua hal itu sangat berbeda. Salah satu teori yang paling populer tentang perbedaan suspense dan surprise adalah teori “bomb under the table” yang dikemukakan oleh Alfred Hitchcock.

“There is a clear difference between surprise and suspense […]. We are sitting here and having an innocent conversation. Let us assume that there is a bomb under this table between us. […] suddenly there is a loud boom and the bomb goes off. The audience is surprised, but before this surprise they have only seen a very ordinary scene without any significance. Let us instead look at suspense scenes. The bomb is under the table and the audience is aware of this because they have seen the anarchist plant it there. They also know that the bomb will go off at one o’clock, and up on the wall is a clock showing that the time is now quarter to one […]. In the first scene we have given the audience 15 seconds of surprise […] but in the last scene we have given them fifteen minutes of suspense.” (Truffaut, 1973: 52-53)

“Ada perbedaan yang jelas antara kejutan dan ketegangan […]. Kami duduk di sini dan melakukan percakapan yang tidak bersalah. Mari kita asumsikan ada bom di bawah meja di antara kita. […] Tiba-tiba terdengar ledakan keras dan bom meledak. Penonton terkejut, namun sebelum kejutan ini mereka hanya melihat pemandangan yang sangat biasa tanpa ada makna apapun. Mari kita lihat adegan menegangkan. Bomnya ada di bawah meja dan penonton menyadarinya karena mereka telah melihat kaum anarkis menanamnya di sana. Mereka juga tahu bahwa bom akan meledak pada pukul satu, dan di dinding terdapat sebuah jam yang menunjukkan bahwa waktu sekarang menunjukkan pukul satu kurang seperempat […]. Pada adegan pertama kami memberi penonton kejutan selama 15 detik […] tetapi pada adegan terakhir kami memberi mereka ketegangan selama lima belas menit.”

Baik suspense dan surprise memang keduanya memiliki efek ketegangan, tetapi cara pembangunannya berbeda. Ketika suspense harus ada informasi tentang hal buruk yang akan datang yang diketahui terlebih dulu oleh penonton atau salah satu tokoh, sebaliknya surprise tidak memiliki itu. Surprise akan bekerja dengan menghadirkan sebuah kejadian besar secara mendadak di tengah adegan yang akan mengagetkan penonton ataupun tokoh yang ada di adegan itu sendiri. Intinya, suspense harus dibangun secara perlahan melalui informasi yang sudah diberikan melalui naratifnya sehingga membuat penonton mengantisipasi itu.

“The relation between “foreshadowing”—the semination of anticipatory satellites—and “giving the audience all the facts as early as possible” is interesting. Foreshadowing can also take the form of inferences drawn from existents, (…) But though suspense always entails a lesser or greater degree of foreshadowing, the reverse need not occur. Narratives may foreshadow in an unsuspenseful way.” (Chatman, 1978: 32)

“Hubungan antara “foreshadowing”—penyebaran satelit antisipatif—dan “memberikan semua fakta kepada penonton sedini mungkin” adalah hal yang menarik. Bayangan juga bisa berupa kesimpulan yang diambil dari hal-hal yang ada, (…) Namun meskipun ketegangan selalu memerlukan tingkat bayangan yang lebih kecil atau lebih besar, hal sebaliknya tidak perlu terjadi. Narasi mungkin memberi pertanda dengan cara yang tidak menimbulkan ketegangan.”

Sementara itu, Noёl Carroll membagi tipe suspense menjadi dua; suspense pada kehidupan nyata dan suspense sebagai respon terhadap naratif fiksi. Menurutnya secara umum, suspense berasal dari rangkaian momen yang berturut-turut menuju suatu titik yang tidak pasti tapi sudah terekspektasi.

“the emotion of suspense takes as its object the moments leading up to the outcome about which we are uncertain […] Once the outcome is fixed, however, the state is no longer suspense […] the emotion of suspense gives way to other emotions.” (Carroll, 2001: 257)

“emosi ketegangan mengambil objeknya saat-saat menjelang hasil yang kita tidak pasti […] Namun, setelah hasilnya ditetapkan, keadaan tidak lagi menjadi ketegangan […] emosi ketegangan memberi jalan ke emosi lain.”

Dalam konteks film, tentu jenis suspense yang kedua yang menjadi fokus pembahasan. Suspense sebagai respon terhadap naratif fiksi ini tidak muncul begitu saja dalam cerita. Ada banyak metode untuk membuat suspense yang baik dan efektif. Kreitler dan Kreitler (1972) mengklasifikasikan lima cara untuk membuat suspense; “(1) suggestion of alternative courses of development and resolution which do not always mature into events or solutions; (2) gradual build-up towards a climax over a series of crises; (3) foreshadowing and unchronological presentation of a story, with recurrent flashbacks or revelations; (4) use of ambiguities; (5) resort to possible and explicable though unexpected resolutions.”

Mengacu pada lima klasifikasi cara suspense bekerja itu, film The Vast of Night (2019) cenderung menggunakan cara yang kedua. Ada sebuah sistem gradual yang dibangun dari awal film hingga akhir, yang mengacu pada eskalasi emosi tokoh Everett dan Fay karena adanya rentetan krisis yang terjadi tentang upaya pengungkapan misteri cerita UFO yang beredar, serta terjadinya hal-hal aneh yang menimpa beberapa tokoh lain.

Film The Vast of Night (2019) memiliki beberapa elemen yang membangun suspense ceritanya; dialog, desain suara dan editing shot-nya. Ketiga komponen pembangun suspense itu mempengaruhi satu sama lain dan berfungsi sesuai dengan konteks sosial pada cerita, yaitu tentang era kejayaan radio di Amerika Serikat saat perang dingin.

Film ini secara general bergerak melalui dialog. Sejak menit pertama hingga akhir, dialog menjadi elemen yang paling dominan untuk memberikan informasi. Seakan mempermainkan frasa legendaris dalam dunia film; “show, don’t tell”, film ini justru memiliki signifikansi naratif yang berfungsi dengan baik melalui dominasi dialog. Keunikan itu tidak lepas dari konteks cerita yang diangkat sangatlah sesuai dengan keputusan penulisan. Kunci dari suspense yang dibawa dalam penulisan dialog dalam film ini adalah sistem oposisi biner antara penonton dan tokoh. Pada awal film semua informasi yang didapatkan oleh penonton sama banyaknya seperti informasi yang didapat oleh tokoh. Seiring berjalannya cerita, oposisi biner ini menjadi semakin dieksplorasi dimana penonton mendapatkan informasi yang lebih banyak ketimbang tokoh. Singkatnya eskalasi suspense yang ada di dalam film ini adalah ketika di awal film penonton dibawa untuk mengantisipasi sesuatu yang akan terjadi bersama dengan tokoh, lalu di akhir film fungsinya diubah menjadi penonton dibawa untuk mengantisipasi sesuatu yang akan menimpa tokoh.

Diceritakan bahwa pada tahun 1950, di Amerika, ada seorang remaja perempuan bernama Fay yang bekerja sebagai operator sinyal siaran radio. Sementara itu di studio siaran, ada tokoh Everett yang merupakan seorang penyiar radio yang sangat digandrungi. Penokohan itu ditegaskan dalam film karena adanya fungsi radio pada era itu yang akan ditekankan sebagai substansi cerita. Itu adalah era dimana orang mendapatkan informasi melalui suara (radio dan obrolan). Itu adalah era dimana gosip, mitos, misteri menyebar melalui mulut ke mulut, melalui radio-radio. Tidak ada visualisasi, hanya deskripsi lisan. Hingga muncul satu misteri bahwa ada sebuah entitas yang lebih modern dari manusia yang datang ke bumi menggunakan pesawat berbentuk bundar seperti piring. Semua informasi itu dijelaskan melalui dialog di berbagai macam jenis adegan; dialog saat mengobrol di jalan, dialog saat wawancara di mobil, dan dialog saat mengobrol dengan penelepon di radio. Oleh karena itu, pendekatan dialogue driven dalam film ini menjadi cara yang paling fungsional dan tepat untuk mendapatkan level realisme yang tinggi.

Lalu apa signifikansi dialog pada elemen suspense filmnya? Ketika semua informasi disampaikan sebagian besar melalui dialog, maka dialog ini akan ditulis dengan struktur yang solid untuk menunjang penyampaian informasi dan dinamika ceritanya. Andrew Patterson dan Craig W. Sanger sebagai penulis skenarionya memberikan fase eksposisi di awal film dengan mengenalkan konteks sosial filmnya melalui tokoh dan kegiatan mereka. Sehingga diketahui bahwa tokoh Everett dan Fay bekerja untuk salah satu stasiun radio terpopuler di kota New Mexico. Informasi tentang tokoh itu akhirnya mengarahkan cerita pada elemen suspense pertama; momen ketika Fay sedang bekerja dan mendapatkan sebuah sinyal yang memancarkan gelombang suara asing yang aneh. 

Sesuai dengan teori pembangunan suspense menurut Kreitler dan Kreitler (1972), adegan penemuan suara asing itu menjadi titik awal gradual build-up beberapa elemen krisis yang akan dialami tokoh Fay dan Everett sepanjang film. Pada titik itu, penonton berada pada posisi yang sama seperti Fay dan Everett yang tidak tahu apapun soal misteri suara asing itu. Itu berarti penonton dilibatkan secara langsung dalam awal petualangan misteri tokohnya, dan rasa tegang akan terpancing karena penonton mengantisipasi atau mengekspektasikan sesuatu akan terjadi nanti.

Dialog menjadi medium yang menggerakkan suspense itu karena penonton mendapatkan volume informasi yang sama seperti Fay ketika dia mendapat panggilan masuk dari penelepon misterius yang mengatakan bahwa di rumahnya ada sebuah pusaran angin dan benda mirip pesawat di atas atap. Kemudian ada informasi naratif lain dimana perempuan pengasuh adik Fay menghilang secara misterius ketika sedang tersambung di panggilan telepon. Semua informasi itu disampaikan melalui dialog telepon, dan dialog itu menaikkan level suspense yang setara bagi penonton dan juga Fay karena oposisi binernya seimbang. Penonton dan Fay sama-sama semakin mengetahui bahwa ada sesuatu yang buruk terjadi pada seseorang di luar sana, dan hal buruk itu berkaitan dengan misteri sinyal gelombang suara asing yang didapatkan sebelumnya.

Adegan berikutnya yang semakin meningkatkan intensitas suspense cerita ini adalah adegan ketika Everett mendapatkan sambungan panggilan telepon dari seorang pria bernama Billy (Bruce Davis). Lagi-lagi melalui dialog telepon, semua informasi tambahan  diberikan oleh tokoh Billy kepada Everett tentang misteri suara asing yang diputar di radio. Billy mengaku memiliki pengalaman personal yang traumatis dengan suara asing itu ketika dia bekerja di militer. Semua kesaksian Billy itu sayangnya tidak mudah untuk dibuktikan karena terputusnya sambungan telepon beberapa saat sebelum Everett dan Fay mendapat clue bahwa ada seseorang yang pernah merekam suara itu dan menyimpannya di perpustakaan kota.

Membludaknya informasi yang disampaikan melalui eksposisi dialog Everett dan Billy itu memang sekilas terasa membosankan, tetapi di sisi lain, konteks fungsi radio pada tahun 1950-an di film itu menjadi semakin kuat. Penonton dipaksa masuk ke dalam era itu dengan cara mendengarkan percakapan kedua tokoh. Penonton tidak melihat visualisasi apapun dari hal yang diceritakan, sama seperti Everett dan Fay yang hanya bisa mendengarkan. Esensi radio sangat berperan penting, sehingga meningkatkan keunikan elemen suspense-nya. Penonton dipaksa mempertanyakan cerita yang dituturkan Billy,  atau bahkan penonton dipaksa percaya pada cerita itu hanya dengan cara mendengarkan saja. Penonton semakin ditarik ke dalam realitas filmnya melalui suspense dalam dialog itu.

Tokoh Billy tidak pernah terlihat secara visual, bahkan ada dialog dimana Billy menjelaskan ciri-ciri fisiknya dengan mengatakan bahwa kulitnya berwarna hitam. Hal ini jelas memaksa penonton dan tokoh berimajinasi bagaimana bentuk rupa Billy. Jadi bisa dilihat bahwa dialog Billy pada adegan ini memiliki dua fungsi yang intinya adalah memberikan stimulus naratif pada tokoh dan penonton; pertama, memberikan petunjuk atau informasi tambahan tentang misteri gelombang suara asing yang tertangkap di sinyal radio; kedua, meyakinkan protagonis untuk bergerak dengan memberikan elemen-elemen yang logis seperti konteks warna kulit orang hitam yang cenderung terdiskriminasi ketika kesaksiannya disepelekan. Kedua stimulus naratif itu tentunya semakin memperkuat intensitas suspense karena semakin banyak informasi yang diterima, semakin besar kemungkinan suspense itu akan mencapai klimaks yang sudah diantisipasi sejak awal.

Dialog Billy ini juga bisa ditelaah melalui teori acuosmetre yang dikemukakan oleh Michel Chion (1982). Chion mengatakan dalam bukunya yang berjudul The Voice In Cinema, pengertian dasar dari acousmetre adalah sebuah suara omnidireksional yang bisa didengar dan memberikan informasi tertentu tanpa diketahui bentuk fisik sumber suara tersebut. 

“Acousmatic, ‘specifies an old dictionary, ‘is said of a sound that is heard without its cause or source being seen.’ We can never praise Pierre Schaeffer enough for having unearthed this arcane word in the 1950s. He adopted it to designate a mode of listening that is commonplace today. systematized in the use of radio, telephones, and phonograph records. Of course, it existed long before any of these media, but for lack of a specific label, wasn’t obviously identifiable, and surely was rarely conceived as such in experience.” (Chion, 1982: 18)

Pada film The Vast of Night ini sangat menarik dilihat bagaimana acousmetre digunakan dengan kontekstual dalam ceritanya. Spesifiknya pada adegan dialog Billy dengan Everett, jenis acousmetre yang lebih konkret menurut klasifikasi Chion adalah the radio-acousmetre

“The radio-acousmetre. It should be evident that the radio is acousmatic by nature. People speaking on the radio are acousmetres in that there’s no possibility of seeing them; this is the essential difference between them and the filmic acousmetre. In radio one cannot play with showing, partially showing, and not showing.” (Chion, 1982: 21) 

Ciri-ciri radio-acousmetre ini jelas berada pada dialog Billy, karena secara literal, dialog Billy berlangsung pada sambungan telepon stasiun radio. Dialog Billy memiliki fungsi naratif yaitu menggerakkan protagonis untuk melakukan sesuatu yang berdampak instan pada jalan ceritanya. Selain itu, dialog Billy ini bersifat omnidireksional yang berarti konteks pembicaraannya mengandung informasi penting terhadap cerita baik untuk tokoh ataupun untuk penonton. Semakin penonton mendengarkan cerita Billy pada Everett, semakin penonton yakin akan adanya misteri yang harus segera diungkap. Penonton akan semakin menginvestasikan perhatian mereka pada aksi apa yang akan tokoh lakukan setelah adegan itu, yang tentunya selalu akan berkaitan dengan misteri gelombang suara asing yang sejak awal film sudah membawa elemen suspense.

Adegan lainnya yang mengindikasikan sebuah eskalasi suspense tentunya adalah ketika Fay menemukan beberapa pita rekaman suara yang dimaksud Billy. Fay bersama Everett mencoba satu persatu pita rekaman itu untuk mencari rekaman gelombang suara asing yang mereka dapat di sinyal radio. Momen ketika Everett mengganti pita rekaman suara satu persatu menjadi elemen suspense tersendiri karena pada titik ini cerita memasuki mid-point film. Mid-point dalam film ini menggunakan jenis false victory. Menurut Blake Snyder (2005) dalam bukunya yang berjudul Save the Cat!, mid-point yang menggunakan sistem false victory adalah titik cerita dimana seakan-akan tokoh berhasil menyelesaikan masalahnya, tetapi “kemenangan” itu justru membawa cerita ke titik yang lebih buruk.

“…But the midpoint does more than present an ‘up’ or ‘down.’ You will hear the phrase ‘the stakes are raised at the midpoint’ in a lot of script meetings. Because they are. It’s the point where the fun and games are over. It’s back to the story! It’s also the point where if you have a “false victory” where, say, the hero has been given an Out-of-the,­ Bottle bit of magic, he gets everything he thinks he wants. But It’s a false victory because the hero has a ways to go before he learns the lesson he really needs. It just seems like everything’s great.” (Snyder, 2005: 84)

“…Tetapi titik tengah tidak hanya menyajikan ‘naik’ atau ‘turun.’ Anda akan mendengar ungkapan ‘taruhannya dinaikkan di titik tengah’ di banyak pertemuan naskah. Karena mereka adalah. Ini adalah titik di mana kesenangan dan permainan berakhir. Ini kembali ke cerita! Ini juga merupakan titik di mana jika Anda memiliki “kemenangan palsu” di mana, katakanlah, sang pahlawan telah diberi sedikit sihir yang Luar Biasa, dia mendapatkan semua yang dia pikir dia inginkan. Tapi itu adalah kemenangan palsu karena sang pahlawan masih harus menempuh jalan panjang sebelum dia mendapatkan pelajaran yang benar-benar dia butuhkan. Sepertinya semuanya baik-baik saja.”

Penggunaan mid-point dalam film ini sangat efektif untuk mempertebal suspense cerita, karena penonton merasa bahwa tokoh mendapatkan titik terang untuk menyelesaikan konflik (misteri gelombang suara asing), tetapi di sisi lain, penonton juga masih ditahan di dalam antisipasi ketika melihat adegan Everett yang mencoba pita rekaman satu persatu. 

Dialog tidak berperan begitu besar dalam suspense di adegan ini, tetapi informasi dari dialog Everett dan Fay itu membantu penonton lebih mengerti tentang konsekuensi apa yang kira-kira akan diterima kedua tokoh jika mereka melakukan sebuah aksi. Fay khawatir Everett akan kehilangan pekerjaannya jika ketahuan memutar pita rekaman yang dicuri dari perpustakaan kota. Namun Everett menjawab bahwa dia tidak takut kehilangan pekerjaan karena dia bisa mencari pekerjaan di stasiun radio lain. Di sisi lain, terungkap bahwa Fay juga ingin mencari stasiun radio lain setelah dia lulus SMA. Kedua sudut pandangan tokoh ini mendasari sub-text aksi yang mereka lakukan, dan hal itu memberikan efek nyaman pada penonton karena semua rasa empati penonton kini berfokus pada bagaimana misteri gelombang suara asing itu akan diungkap, bukan berempati pada karir tokoh.

Setelah mid-point, suspense cerita menjadi lebih meningkat secara signifikan. Seperti pada fungsi false victory, cerita bergerak ke titik terendah dimana karakter Everett dan Fay mengalami serial kejadian yang menegangkan. Adegan dimulai dari banyaknya penelepon di stasiun radio yang mengatakan bahwa mereka melihat benda seperti pesawat yang berbentuk menyerupai piringan di langit. Penulisan dialog lagi-lagi menjadi kunci bagaimana suspense bisa dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Namun menjelang akhir film ini, editing juga menjadi kunci utama dalam pembangunan suspense. Editing shot per shot menjadi lebih cepat, sesuai dengan tempo emosi yang semakin tinggi. 

“The more intense the action is on the screen the faster and more frantic the editing has to be. Likewise the pace should slow down, as the scene is resolved, giving the audience time to breathe and relax and take in the action that has just occurred.” (Frederiksen, 2018: 12)

“Semakin intens aksi di layar, semakin cepat dan panik proses pengeditannya. Demikian pula, kecepatannya harus diperlambat, seiring dengan penyelesaian adegan, memberikan waktu kepada penonton untuk bernapas dan bersantai serta melakukan aksi yang baru saja terjadi.”

Tempo dialog Fay dan Everett menjadi sangat cepat ketika mereka bertemu dengan pasangan muda Brestie dan Gerald yang juga mengaku sedang mengejar pesawat aneh di langit. Suspense semakin meningkat karena pada adegan spesifik pertemuan empat tokoh itu, semuanya berdialog dengan tumpang tindih. Atmosfer menegangkan dari emosi-emosi tokohnya yang juga mengalami perasaan yang sama, membuat suspense ceritanya semakin meningkat.

Menariknya, suspense diturunkan lagi pada adegan wawancara Everett dan Fay dengan seorang wanita tua bernama Mabel Blanche (Gail Cronauer) yang menelepon stasiun radio dan mengaku bahwa dia memiliki cerita yang lebih lengkap tentang misteri gelombang suara aneh itu. Penonton diberikan waktu untuk bernafas lagi dan fokus kepada informasi cerita yang akan diberikan melalui dialog wawancara.

Pada adegan wawancara itu, kesaksian Blanche membuat tokoh Everett dan Fay perlahan-lahan menjadi semakin tegang lagi, begitu pula emosi yang dirasakan penonton. Hal ini dicapai karena minimnya music scoring ketika Blanche sedang berdialog, sehingga penonton, serta Everett dan Fay memiliki tingkat fokus yang sama terhadap apa yang dikatakan Blanche.

Spektrum suspense pada adegan wawancara itu juga menjadi lebar. Informasi tentang misteri gelombang suara asing itu menjadi terjawab asal muasalnya ketika Blanche mengarahkan ceritanya ke konsep supranatural. Blanche mengatakan bahwa ada sebuah entitas dari langit yang mencoba berkomunikasi, menculik manusia, dan bepergian menggunakan sebuah pesawat futuristik berbentuk piringan. Suspense cerita kini telah masuk ke elemen bahaya yang berada di luar spektrum asosiasi otak manusia. Ancaman bahaya meningkat, dan rasa takut semakin besar. Di sisi lain, suspense menjadi semakin tebal karena ada subtext aksi dari karakter Everett yang memutuskan untuk tidak mempercayai kesaksian Blanche. 

Pada titik ini level oposisi biner tokoh dan penonton menjadi tidak lagi seimbang seperti di awal film. Walaupun tidak realistis di akal manusia, logika kesaksian Blanche secara kronologis bisa dipertimbangan. Ada beberapa poin kesaksiannya yang terinterseksi dengan cerita Billy sebelumnya, dan itu bisa menjadi indikator validasi. Sementara itu, Everett menolak untuk mempercayai kesaksian Blanche ketika wanita tua itu memberikan sebuah mantra yang tidak berasal dari bahasa yang ada di bumi. Penonton diberikan ruang untuk memilih memihak kepada siapa, Blanche atau Everett? Atau bahkan penonton juga diberikan ruang untuk tidak memihak ke siapapun dan bersikap submisif terhadap filmnya dengan konsekuensi harus siap untuk dibawa ke adegan-adegan selanjutnya tanpa antisipasi. Penonton ditinggalkan sendirian untuk memutuskan itu. Suspense seakan-akan menembus tembok ke empat, karena ada semacam stimulus interaktif bagi penonton di adegan ini.

Parallel dengan krisis emosional yang dialami Everett dan Fay setelah adegan wawancara itu, suspense cerita juga semakin tinggi. Pada rangkaian adegan-adegan berikutnya, plot mengarah pada kontras emosi Fay yang lebih berada pada spektrum ketakutan atas kesaksian Blanche dengan emosi Everett yang lebih denial. 

Suspense mulai memuncak dari aksi Fay yang berlari menuju rumah Ethel yang seharusnya sedang mengasuh Maddy, adiknya Fay yang masih bayi. Hingga fakta baru terungkap bahwa Ethel tidak menghilang, melainkan dia melihat pesawat yang serupa dengan kesaksian orang-orang. 

Kombinasi editing dan dialog masih menjadi kunci pembangunan suspense hingga akhir film. Semua informasi naratif yang sudah disampaikan sebelumnya, dijawab dengan fakta bahwa pesawat yang datang dari luar angkasa itu nyata. Tidak pernah disebutkan bahwa pesawat itu bernama UFO, tetapi asosiasi bentuk, dan metode penculikan manusia sama persis dengan kesaksian Blanche. Film ini diakhiri dengan menghilangnya tokoh Everett, Fay dan Maddy setelah mereka bertemu dengan pesawat luar angkasa (UFO) itu. Setelah adegan itu, suspense pada film ini juga mereda.

Film The Vast of Night (2019) adalah film yang dialogue-driven, sehingga sebagian besar elemen naratifnya bergerak melalui dialog – termasuk elemen suspense-nya. Setiap dialog yang diucapkan akan mempengaruhi aksi-reaksi semua tokohnya, terutama protagonis Fay dan Everett. 

Namun selain dialog, suspense dalam film ini juga dibangun menggunakan metode desain suara dan editing shot. Khusus untuk desain suara, sebetulnya kunci utama ada di adegan ketika Fay menemukan gelombang suara asing yang aneh di sinyal radionya. Namun sayang, seiring misteri pengungkapan gelombang suara itu, di akhir film tidak ditampilkan dengan konkret apakah gelombang suara asing di awal film itu berasal dari pesawat luar angkasa futuristik yang muncul di akhir film. Hal ini seakan menyebabkan adanya sedikit misguiding karena konflik benar-benar dimulai dari penemuan suara itu. Kemunculan pesawat luar angkasa (UFO) di  akhir film merusak potensi teori acousmetre untuk gelombang suara asing yang ditemukan Fay. Oleh karena itu, suara itu rasanya tidak begitu tepat jika diklasifikasikan sebagai acousmetre, karena suspense yang sudah dibangun melalui berbagai macam adegan, menjadi sedikit antiklimaks di akhir ketika tidak adanya signifikansi atau payoff yang jelas dari mana suara itu berasal.

Penonton hanya bisa menebak apakah suara itu berasal dari pesawat luar angkasa atau tidak. Padahal ada metode desain suara yang mungkin bisa digunakan seperti leitmotif. Metode desain suara leitmotif adalah rangkaian suara (biasanya musik) yang dimodifikasi secara ritme, not, fragmen dan instrumennya untuk ditampilkan beberapa kali di dalam film. Leitmotif ini memberikan layer emosi yang kontinu pada beberapa adegan yang berbeda-beda. Matthew Bribitzer-Stull (2015), dalam bukunya yang berjudul Understanding the Leitmotif: from Wagner to Hollywood Film Music mendefinisikan leitmotif sebagai; “Film music composers often use leitmotifs to help build a sense of continuity. A leitmotif is a recurring musical idea (a melody, chord sequence, rhythm or a combination of these) which is associated with a particular idea, character or place. Leitmotifs are manipulated to match the action and mood of a scene.”

“Komposer musik film sering menggunakan motif utama untuk membantu membangun rasa kesinambungan. Motif utama adalah ide musik yang berulang (melodi, urutan akord, ritme, atau kombinasi semuanya) yang dikaitkan dengan ide, karakter, atau tempat tertentu. Motif utama dimanipulasi untuk mencocokkan aksi dan suasana suatu adegan.”

Dalam konteks film The Vast of Night (2019), leitmotif sangat bisa digunakan dengan menampilkan suara serupa seperti yang ditemukan Fay di awal film di adegan akhir ketika visual pesawat luar angkasa (UFO) muncul. Suara serupa itu bisa ditampilkan dengan cara diegetic; secara literal diproduksi oleh UFO ataupun non-diegetic; secara naratif melalui music scoring. Satu hal yang pasti adalah penonton akan mendapatkan payoff yang signifikan bahwa memang misteri gelombang suara asing di awal film itu berasal dari UFO yang berada di layar saat adegan itu berlangsung. 

Secara keseluruhan, suspense di dalam film ini memiliki sistem kerja yang jelas dan terstruktur. Semua elemen suspense itu melebur dalam satu rangkaian naratif yang mengalir dengan jelas. Sayangnya ada beberapa elemen suspense yang seharusnya bisa lebih dioptimalkan lagi seperti elemen desain suara yang tadi sudah dibahas. Namun pada akhirnya, suspense bukan hanya tentang bagaimana intensitas emosi dan antisipasi berada di level yang tinggi, tetapi juga bagaimana cara memainkan dinamika emosi penonton dan tokoh di dalam film dari suspense itu sendiri.

Daftar Referensi

Anastasova, Maria. (2019). The Suspense of Horror and the Horror of Suspense. Newcastle: Cambridge Scholars Publishing.

Bribitzer-Stull, Matthew. (2015). Understanding the Leitmotif: from Wagner to Hollywood Film Music. Cambridge University Press.

Carroll, Noel. (2001). Beyond Aesthetics: Philosophical Essays. Cambridge University Press.

Chatman, Seymour. (1978). Story and Discourse: Narrative Structure in Fiction and Film. New York: Cornwell University Press, Ithaca.

Chion, Michael. (1982). The Voice in Cinema. ed. Claudia Gorbman. New York: Columbia University Press.

Frederiksen, Jens. (2003). Elements of Suspense On Why Hitchcock Still Can Make You Sit on the Edge of Your Seat. Copenhagen: Aalborg University.

Grodal, Torben. (1997). Moving Pictures: A New Theory of Film Genres, Feelings, and Cognition. New York: Oxford University Press.

Kreitler, Hans and Kreitler, Shulamith. (1972). Psychology of the Arts. Durham, N.C.: Duke University Press.

Snyder, Blake. (2005). Save the Cat!: The Last Book on Screenwriting You’ll Ever Need. California: Michael Wiese Productions.

Wright, James D. (2015). Film: Genres and Genre Theory. Copenhagen: University of Copenhagen.

Zillmann, Dolf. (1980). Anatomy of Suspense: In The Entertainment Functions of Television. ed. P. H. Tannenbaum. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here