Anne Yasmine, biasa dipanggil Yasmine atau Mine (baca mi-ne) menyukai seni pertunjukkan sejak SMP meski mengaku serius pada seni peran justru dimulai sejak 2019 setelah lulus kuliah fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Yasmine menemukan komunitas Mondiblanc dari rekan aktor pada film pendek SAE Institute Jakarta, Julfikar Maha Putra (saat ini mentor di Mondiblanc ActingLab) di tahun 2018. Saat kuliah, Yasmine adalah bagian dari Teater Psikologi UI (Teko UI) yang diprakarsai oleh Putri Ayudya yang juga memprakarsai Mondiblanc ActingLab. Lalu kenapa hobi Yasmine bertransformasi menjadi aktivitas profesional? “…the general idea and prejudice tentang industri hiburan di Indonesia tahun 2019-2020. Apalagi setelah bergabung di (film) Yuni, ternyata (harapan akting sebagai profesi) visible ya… doable ya untuk aku kejar sebagai sebuah karier utama. Aku merasa ini seperti call back atau homecoming aku ke apa yang pingin aku kejar. And I think the timing is just right!”
Mondi mewawancara Yasmine secara mendalam tentang kehidupannya sebagai aktor, aktivis, dan akademia.
Bagaimana kamu memilih peran atau projek yang akan kamu kerjakan?
Pertama ceritanya, terutama cerita yang dibawa karakter. Bagaimana dia berkontribusi terhadap cerita. Kedua bagaimana dia bisa membawa pengalaman baru, sebagai aktor dan aku pribadi. Looking back aku baru ngeh. Beberapa film yang aku sudah ikut kerjasama ternyata karakternya atau filmnya memang membawa isu-isu sosial begitu. Kadang saya merasa seperti aktor-aktivis. Meskipun tidak selalu isu yang sama tapi aku senang kalau ada cause to believe in dalam mengerjakan cerita, menjalankan peran.
Sebagai aktris yang sedang merintis, apa tantangan yang kamu hadapi di industri film Indonesia dan bagaimana cara mengatasinya?
It’s all about commitment and consistency, artinya harus stay relevant harus stay being in the pool karena satu hal yang selalu menjadi pesan dari mentor-mentorku adalah everyone is replaceable. Apalagi talent Indonesia sedang emerging, jadi definitely sangat bisa digantikan atau the market selalu ramai.
Cara mengatasinya bisa berbagai macam. Dari yang tactical, technical, secara value dan moral aku pegang teguh. Keep on doing, practicing, tetap casting. Rejection is a daily dose of what this job is about. Jadinya secara value yang bisa aku pertahankan adalah mencintai pekerjaan ini atau at least mengingatkan diri apa yang bikin aku bertahan. Gampangnya rejection udah cukup bikin sedih tapi kalau kita keep energi secara positive, you and I bisa melihat dalam perspektif yang lebih baik, yang lebih punya fighting spirit yang tinggi. Karena bergabung dalam industri ini, dari awal udah tahu, I sign up for this. Ga ada amount of rejection yang ga jadi makanan sehari-hari. Jatuh boleh tapi jangan patah.
Mari kita bicara tentang peran kamu di film “Yuni” yang mengangkat isu pernikahan anak. Bagaimana kamu mempersiapkan diri untuk peran yang kompleks dan sensitif seperti itu?
Peran ini paling unik dan paling jauh dari aku sebagai Yasmine. I had really great time mempersiapkan diri untuk peran itu. Pertama kalinya, aku kenal mas Rosa sebagai acting coach dan Bapaknya Yuni. Sebagai orang yang mempelajari teater ya.. Aku mempelajari acting melalui cara mas Rosa itu eye opening banget. Gimana cara memisahkan diri dengan Aku-diri, Aktor, dan karakter-Tika. Persiapan tiga minggu tapi tim production untuk Yuni sangat mempertimbang elemen-elemen yang dibutuhkan talent. Talent masuk ke Cilegon sampai beli casing hp, belanja pernak-pernik yang cewek banget sesuai dengan selera para karakter. Waktu itu mbak Dini, ngajak belanja. “Kalau mau beli casing hp atau peralatan sekolah yang sesuai dengan karakter yang mana?” Sedangkan karakter aku kan udah ga sekolah, nikah duluan, putus sekolah. Kegiatan belanja itu, membantu aku punya perasaan kompleks sebagai Tika bahwa ‘gw udah ga sekolah lagi’.
Menurut Yasmine, apa dampak film Yuni terhadap peningkatan kesadaran tentang isu ini?
Karena film ini tentang pernikahan dini dan edukasi, aku sangat pro dengan pesan-pesan yang ingin disampaikan dengan film Yuni. Sejauh ini film Yuni banyak dijadikan bahan diskusi di kampus. Ada yang cerita aku, ada yang bikin paper dari film Yuni di kelas antropologi, atau sosiologi. Aku nunjukkin film ini ke asisten rumah tanggaku. I think salah satu beautiful thing about film bahwa dia timeless dan dia relevant dan bisa disatukan ke berbagai macam sektor, pendidikan, perumahan, never last.
Kamu berperan sebagai Rara Anna dalam film Mondiblanc “Eksekusi Jaminan” berlatar distopian dengan genre sci-fi. Bagaimana kamu menghadapi peran intens ini?
I love dystopian movies. Dan dystopian movies always have something to say. Secara isu sosial, politik, both or environmental dan semuanya. Karakter Anna ini juga punya karakter bible yang unik, akupun diberi kebebasan untuk explore sedalam-dalamnya dan sejauh-jauhnya. Karena belum banyak yang bisa dikulik bersama-sama tapi jadi bahan aku untuk berimajinasi juga.
Pendekatan peran untuk Rara Anna pertama dengan mempelajari dulu dengan world building-nya, lalu bagaimana Rara Anna sebagai budak. Di luar itu beberapa aspek psikologi sosial, misalnya cerita karakter Rara Anna dalam Eksekusi Jaminan. Dia memiliki Stockholm Syndrome. Mungkin tidak detil membahas itu, tapi dari situ aku bisa do the research kira-kira kode psikologi apa untuk orang-orang yang mengalami Stockholm Syndrom. Satu hal yang aku pahami dari menggunakan ilmu teori atau pengetahuan yang berbasis psikologi. Selanjutnya belajar latar belakang tokoh. Aku selalu menggunakan ada 9 Questions Uta Hagen atau 5 Golden Roles Stella Adler sebagai panduan untuk bikin fondasi kerangka dari sebuah karakter. We like playing God. Ingredients-nya dari situ. It is so much fun.
Baik dalam Yuni maupun Eksekusi jaminan karakter kamu terlibat dalam gerakan atau isu sosial. Bagaimana menurutmu akting dan film dapat berkontribusi dalam mempromosikan perubahan sosial dan menciptakan kesadaran tentang topik penting?
Aku tipe yang percaya bahwa film adalah satu dari sekian jenis media yang bisa mengkomunikasikan pesan penting. Sebuah media sosial dengan cara yang bisa lebih diterima entah kenapa. Mungkin kita juga punya mindset ‘film adalah dunia hiburan’. Sedikit dari kita merasa fiksi yang terinspirasi dari cerita nyata dan cukup untuk merefleksikan (pesan yang diharapkan) bisa sampai juga ke penonton yang tepat. Jadi aku sangat menikmati proses (pembuatan film). Hal ini juga selaras dengan pesan yang mau dibawa “Yuni” atau “Eksekusi Jaminan” mengenai isu-isu sosial. Dan harapannya kalau Yuni sudah memberikan dampak ke lapisan-lapisan masyarakat. “Eksekusi Jaminan” juga diharapkan bisa bertemu dengan penonton yang tepat. Tentunya kalau nanti didampingi dengan distribusi yang tepat.
Adakah teori atau konsep psikologi yang mempengaruhi pemahaman kamu tentang karakter yang kamu mainkan? Bagaimana mengaplikasikan teori psikologi di dalam performa kamu?
Sejauh ini ada teori dan konsep psikologi yang bantu aku memahami karakter, perkembangan dan latar belakang mereka. Biasa aku suka lihat dari teori humanistik psikologi-nya Abraham Maslow – Hierarki of Needs-nya manusia dan teori psikolog perkembangan Erik Erikson, stages dalam hidup dari kecil sampai sekarang. Itu membantu sih. Sebenarnya aku merasa ini menjadi fondasi teori yang kokoh bagiku untuk shaping seperti apa karakternya, tapi pada akhirnya aku merasa satu elemen yang penting bagaimana aku jujur dalam ‘merasa’, dalam membiarkan emosi-emosi karakter itu bermain ketika sudah di hadapan kamera. It’s not always text book, sometimes aku mengasah empati yang aku punya juga. Supaya bisa relate dengan karakternya. Mungkin yang aku bilang teori-teori psikologi sangat mampu untuk mengukuhkan bagaimana karakter aku punya latar belakang dan merasionalisasikan pilihan-pilihan hidup dia tapi akhirnya ketika sudah bermain dia akan mengalir. Intinya kind of balance, mempelajari teorinya, tetap have fun, dan menjalani prosesnya.
Saat ini kamu sedang mengejar gelar master ke New York University. Boleh dong, ceritakan bagaimana mengambil keputusan tersebut dan bagaimana kamu mengintegrasikan studi akademis dengan karir akting kamu?
Saat ini aku sedang menjalani beberapa projects, sebagai aktor dan produser, dan actually sedang development untuk co-writer untuk short film. Pertama untuk keaktoran, ada series dari bang Joko (Anwar) yang bikin aku sangat tertarik karena Abang punya this vision, bahwa di series ini setiap episode bisa saling berinteraksi. Menantang buat aku, karena karakter aku vital untuk mensupport karakter developmentnya dan ada upcoming universe in it. Salah satu project keaktoran yang aku looking forward adalah itu. Kedua, ada film yang aku sedang produce: “A Layman’s Idea of How A Breakup Should Be”. Karena ada hal-hal besar yang kita take for granted, sering kita alamin tapi kita ga bayak ngomongin ini atau kadang kita menempatkan prejudice on the phenomenon of break up. Di film ini aku akan main dengan Kurnia Alexander. Kurnia sangat hebat, bertalenta. Film ini adalah challenge aku main dan jadi producer. I hope I can manage.
Mengenai keputusan S2 abroad always in the back of my head. Kalau aku akan travel abroad dan keluar dari comfort zone aku. Salah satu yang paling realistis adalah melalui study. Ilmu di psikologi terapannya bisa kemana-mana. Mau jadi psikolog, HRD, researcher, jadi aktor punya background psikologi bisa beneficial. S2 memberi aku kesempatan untuk mengerucutkan menjadi spesialisasi di bidang psikologi terapan. Pada taraf performing art, katarsis, terapeutic, psikologi terapan bisa jadi model bahwa hiburan tidak hanya sebatas hiburan, tapi bisa menyasar psikologi dan well-being dengan cara yang positif.
Bagaimana pandangan kamu tentang representasi sinema di Indonesia di panggung global? Adakah perubahan atau peningkatan yang Anda harapkan di masa depan?
We are in golden age of Indonesian Cinema karena beberapa tahun terakhir Indonesia banyak memiliki prestasi nasional dan internasional, film pendek dan panjang, Indonesia mulai mendapatkan recognition dari mata dunia dan sineas juga di level internasional seperti festival. I think we are in the right course, aku ngomongin ini di ranah festival kalau komersial masih some hit the mess secara kualitas film indonesia banyak memberi kesempatan untuk emerging actor sedang merebak luas. Aku ingin ada peningkatan. We should be going upward and onward. Misalnya, semakin banyak representasi perempuan bukan hanya di talent tapi juga di produksi. Kita banyak bekerja sama dengan female directors dengan visi yang luar biasa. Aku harap ada inklusivitas dan kulturnya semakin sehat. Dalam hal jam shooting meskipun PH-PH besar dulu (yang melakukan), kita mengutamakan safety di industri film. Seperti no sexual harassment dan mulai ada intimacy instructor di project-project yang membutuhkan. Secara standar Indonesia mulai catching up dengan level internasional, sebut saja Amerika atau Hollywood, kalau kita kiblatnya kesana. Aku harap kita semakin solid karena perubahan everlasting kan.. Karena aku sebagai level pribadi berpikir untuk stay relevant dan keeping the commitmen and konsisten. Aku harap film indonesia punya mentalitas yang sama.
Apa tujuan jangka panjang dan aspirasi kamu sebagai seorang aktris? Di mana kamu melihat dirimu di masa depan, baik secara profesional maupun pribadi?
Tujuan jangka panjang, I wanna make movies, sebagai aktor, produser, screenwriter, film-film yang bisa menang something, either merepresentasi golongan tertentu, isu tertentu yang bisa mengekspresikan juga kelompok tertentu, perasaan, jalur komunikasi yang reflektif yang membuka diskusi yang disruptif -sesuai visi dan value mondi- cukup untuk membuat the discussion happen. Kampanye move, action being taken secara lebih luas lagi. Karena aku yakin film bukan semata-mata untuk hiburan, it’s not it! There always something yang bisa kita ambil dari kita. Dan aku punya side project mengenai misi aku pribadi untuk awareness Thalassemia, aku pingin meng-incorporate itu melalui media hiburan atau film melalui performing. Aku cukup yakin pilar-pilar dalam kehidupan selain financial dan health, ada art dan psikologi yang sudah ancient banget. So I’m holding on at least dua di antaranya. Bahasa lebih simplenya, I want to make meaningful art. I want to contribute, melalui meaningful dan enjoyable art. Mau aku sendiri yang perform karena I’m a piece of art atau berkolaborasi dengan teman-teman lewat film dan lainnya.
Pelajaran atau pengalaman berharga apa di MondiBlanc yang membantu kariermu?
Aku rasa, I owe Mondiblanc. Suatu ketika ada tugas membuat acara halal bihalal. Salah satu acaranya adalah sharing from aspired actor dan aktor yang lebih senior. Tema sharing adalah cara menjaga well-being within industry. Banyak orang yang diundang, hadir, dan posting dengan hashtag khusus. Ternyata setahun kemudian, saat aku bekerja di sebuah media agency, aku dapat undangan casting karya Kamila Andini yang scoutingnya via social media dengan hashtag tersebut. So in a sense MondiBlanc jump started my career.