Oleh: Lidya Sihombing*
“GUNDALA shoot has wrapped! Terimakasih teman-teman untuk ucapan-ucapan penyemangatnya selama ini,”
Kurang lebih begitulah bunyi cuitan akun @jokoanwar di Twitter di bulan November 2018 lalu. Jujur, sebagai seorang penonton yang antusias, saya tidak sabar untuk turut terlibat dalam kemeriahannya. Sesungguhnya, sejak mengikuti jagat sinema MCU, saya sering kepikiran, “Bisa ga ya kita bikin yang seperti ini di Indonesia?”
Ternyata ada yang membuatnya jadi bisa. Setidaknya, menurut teori.
Sebelum mendalami lebih jauh, saya mencoba menelisik kenapa sih kita kehausan film superhero. Kalau menurut Stan Lee di autobiografinya yang berjudul “Amazing, Fantastic, Incredible”, komik berperan penting dalam menyampaikan sebuah aspirasi bagi tatanan sosial yang lebih baik. Ia mewujudnyatakan hal tersebut ketika ia mengangkat soal penyalahgunaan obat terlarang dalam bentuk musuh Spider-Man.
Bagaimana dengan ‘kehausan akan pahlawan super’ di era sekarang? Mulai dari ilmuwan, hingga orang awam mencoba memahami fenomena tersebut. Melalui medium.com, Torrecampo mencoba menyampaikan pendapatnya.
“Setidaknya ada sepuluh alasan seseorang mencintai film pahlawan. Di antaranya adalah kerinduan kita dalam mencari pelarian atau perubahan dalam struktur sosial. Diperkuat dengan studi yang dilakukan oleh Dr. Rosenberg, pada dasarnya, menonton film pahlawan memuaskan gairah natural kita akan drama (juga penyelesaiannya), sesuatu yang tidak kita dapatkan di dunia nyata.”
Torrecampo, 2018
Mungkin ada benarnya. Coba saja lihat betapa cintanya masyarakat kita soal drama, mulai dari kehidupan para selebritis, hingga drama perpolitikan. Masalahnya, sanggupkah para sineas perfilman Indonesia mewujudkan sebuah film superhero berkualitas?
“Bisa kok, buktinya ‘Gundala’ berhasil dibuat, juga meledak lagi di pasaran.” Memang, apakah hanya itu parameternya? Tunggu, tunggu, siapa sih “Gundala” itu? “Gundala” pertama kali diperkenalkan oleh Hasmi, lewat komik “Gundala Putra Petir” di tahun 1969. “Gundala” pun pernah coba diadaptasi ke layar lebar pada tahun 1981, dengan judul yang sama seperti komiknya. Oleh IMDb, film tersebut diberikan nilai 6.9/10. Cukup tinggi!
“Berarti, kita berhasil bikin superhero asli Indonesia, dong?” Entahlah.
Kalau mengutip kata Joko Anwar sendiri di sesi Q&A oleh metro TV bertajuk “Belaga Hollywood”, bangsa Indonesia itu banyak yang “mabok nasionalisme”, dalam arti ingin sekali diakui oleh “internasional”. Penyakit lainnya, bangsa kita suka sekali bikin sesuatu, “versi Indonesia”, “desa Belanda versi Indonesia”, “klenteng megah Thailand dari Indonesia”. Puncaknya, orisinalitas dan otentisitas kita dalam berkarya itu masih sering kali jadi tanda tanya. Kemunculan komik “Gundala” sendiri misalnya.
Komik “Gundala” muncul saat Marvel dan DC Comics terkenal di seantero dunia. Para fans lintas komik sejati pun sudah tau-sama-tau bahwa karakter “Gundala” itu dibuat untuk membuat “The Flash” versi Indonesia. (Sayang, tidak ada yang berani bikin data soal ini). Bisakah kita dengan jujur menjawab bahwa kemunculan “Gundala” di sinema Indonesia tidak ada hubungannya dengan waralaba film “Avengers” yang rantainya sudah dimulai sejak “Iron Man” di tahun 2008? Oke, kalau tidak berani menjawab hal tersebut, pertanyaan yang paling penting adalah, kenapa sih kita harus mendompleng suatu nama besar dari negara lain atas karya kita sendiri?
Menyoroti kemunculan “Gundala” di momen berakhirnya Avengers Endgame (yang katanya sih jadi akhir “Avengers”, setidaknya untuk sementara ini) juga penting. Film “Gundala” begitu dirayakan, tergambar dari berhasilnya film ini meraup 700.000 ribu penonton di pekan pertama penayangannya. Sukses? Bisa jadi, selama hanya kuantitas yang jadi parameter. Pertanyaannya, apakah lewat film ini, kita jadi mengenal siapa itu “Gundala” (dan bukannya sebatas Sancaka, atau bahkan Abimana Aryasatya)? Sepanjang film ini, pendalaman karakter “Gundala” sangat minim. Di berbagai adegan, sang jagoan sendiri bingung dari mana kekuatannya berasal, atau bagaimana cara kekuatan tersebut bisa muncul kemudian digunakan. Mungkin dalihnya karena komik harus mengalami penyesuaian dengan film. Sepakat. Tapi kan kita nonton film superhero biar kenal, tau, dan bisa terhubung secara emosional dengan superhero kita, bukan? Kalau itu tidak bisa dipenuhi, lantas apalagi yang kita dapatkan dari sebuah film superhero tunggal?
Kenapa itu penting? Jelas. Beberapa hari sebelum penayangan “Gundala” secara serentak, Joko Anwar turut mengumumkan sederet aktor yang akan memerankan berbagai superhero lainnya di Jagat Bumi Langit. Saya pribadi spontan berpikir. Iron Man saja butuh waktu yang cukup panjang sampai mengumumkan “Avengers” (maksudnya, mengenalkan akan ada karakter superhero atau villains apa saja yang akan muncul dalam satuan waktu cukup panjang di kemudian hari). Mereka mengambil langkah yang perlahan, dari tahun 2008 hingga 2012. Bahkan sempat ada satu tahun kosong tidak ada produksi film sama sekali (2010). Lewat “Gundala”, Joko Anwar malah sudah mengumumkan setidaknya ada 10 aktor yang akan terlibat di film berikutnya. Tidak bisa disalahkan dong bila orang menyimpulkan akan ada 10 film yang sudah mengantri setelah ini. Tapi, memangnya sudah siap? Tidakkah hal tersebut terlalu terburu-buru?
Mungkin, ini adalah petunjuk pertama yang bisa menjawab pertanyaan kita, yakni “Kenapa sih film ini kesannya terlalu terburu-buru (jadinya perpindahan antar elemennya terasa kasar) dan kepenuhan informasi?” Contohnya, bapak dan ibu “Gundala” yang di awal dijelaskan sedemikian panjang tapi sampai akhir tidak tereksplorasi kembali. Penokohan Pengkor dan kroco-nya yang sebentar teatrikal, sebentar normal. Atau, ada juga munculnya tokoh yang entah apa maksudnya, seperti Sri Asih dan Merpati (yah, walaupun saya yakin sih pengikut rekam jejak MCU pasti ngerti bahwa dua pendekatan ini maksudnya mau meninggalkan cue untuk film mendatang). Sebenarnya tidak masalah meninggalkan petunjuk untuk film berikutnya, kalau kualitas film yang sekarang tidak dikorbankan (cue: hal itu tidak berhasil terealisasi).
Kembali kepada pendapat Joko Anwar soal orang Indonesia yang “mabok nasionalisme”, bagi saya pribadi, film ini cukup berani, bila dibandingkan dengan sineas film Indonesia lainnya. Contohnya saya yang menulis ini, cuma mengkritik, bukannya membuat sebuah jagat sinema yang layak (sesuai standar saya yang tercermin di tulisan ini). Masalahnya, saya tidak mau jadi seperti media lainnya di Indonesia lainnya yang keracunan istilah “karya anak bangsa di mata dunia” sampai akhirnya tidak subyektif dan kritis. Bagi saya, film ini tidak berhasil memenuhi standar sebuah film superhero. Terlalu tergesa-gesa, terlalu ambisius, sampai hal-hal penting jadi tidak tersentuh (sementara yang kurang penting untuk film yang sekarang, malah dimunculkan).
Namun, sebagai sesama orang yang mencintai film, saya akan menutup tulisan ini dengan apresiasi sebesar-besarnya kepada Joko Anwar yang berhasil menanggung beban yang besar, dan mewujudkannya dalam film superhero yang layak untuk ditonton. Serius, film ini layak untuk ditonton. Sayang saja, karena film ini secara langsung dipaksakan untuk menjadi batu penjuru untuk entah-berapa-banyak film berikutnya, sehingga akhirnya identitas film ini sendiri, identitas “Gundala” sendiri jadi tenggelam. Setidaknya, ada yang tetap bisa jadi dalih saya menulis kritik tajam ini semua. Meminjam kata Pak Agung, “Nggak ada gunanya hidup kalau cuma untuk mikirin diri sendiri”, saya menulis ini karena saya ingin Jagat Bumi Langit bertahan lama, dan dikenal sebagai sebuah karya otentik sinema Indonesia, alih-alih sebagai “Jagat Superhero versi Indonesia”.
*) Lidya Sihombing adalah seorang manusia yang menghidupi makna dengan berkarya. Memiliki kombinasi idealis – optimis dan sinis – pesimis dalam satu jiwa, ia aktif bersuara dengan jujurnya tulisan.