Oleh Avigayil Enautozoe Deiglori
Sejenak sebelum saya menonton Bright, saya mengingat Chronicle, film tahun 2012 yang juga ditulis oleh Max Landis. Max nampaknya sangat mampu menuliskan sebuah cerita tentang anomali, tentang hal yang supra-natural. Tentang konflik batin yang dialami oleh tiap tokoh ketika ‘tersandung’ kemampuan yang luar biasa dan perkembangan karakter dan cerita yang terjadi karenanya. Di tahun yang sama, David Ayer menyutradarai sebuah film penguras air mata yang sangat berkesan: End of Watch, yang mengisahkan dua orang polisi jalanan yang menjalankan tugasnya menjaga keamanan. Tahun 2017, hadirlah Bright. Film berdana besar yang siap menyuguhkan kita kisah tentang dunia yang supra-natural (dibandingkan dengan dunia kita yang membosankan, tentu saja) dimana dua orang polisi jalanan dipertemukan dengan anomal ini ditulis oleh Max Landis dan Disutradarai oleh David Ayer. Resep untuk keberhasilan, bukan?
Spoiler Alert, loncati paragraf ini untuk kembali ke analisis.
Bright dimulai dengan sebuah insiden yang menimpa Daryl Ward (Will Smith), polisi jalanan yang bermitra dengan seorang orc, Nick Jakoby (Joel Edgerton). Setelah pulih dari insiden ini, Ward kembali turun ke jalanan untuk menunaikan tugasnya agar dalam lima tahun, dana pensiun dapat dicairkan dan kehidupan Ward dan isterinya bisa sejahtera (nb. penulis mengendus kejanggalan). Ward kemudian dihadapkan dengan dilema dari dalam dan luar satuan kepolisian karena insiden dan parternya yang, karena rasnya, dianggap bermasalah dan mempermalukan nama baik satuan kepolisian. Mengatasi kejahatan dengan konflik kebudayaan saja tidak cukup ketika alur cerita kedua mitra ini berjumpa dengan alur sebuah ramalan kuno yang melibatkan (baca: membawa masalah bagi) semua ras yang ada. Sepanjang cerita, Ward dan mitranya dipaksa untuk membuat keputusan demi keputusan dengan cepat selagi semua pihak dari segala penjuru nampaknya ingin menumbangkan mereka.
Bright dibekali dengan konsep yang unik dan menarik. ‘Ras’ kuno dipadu-padankan dengan dunia sekarang. Tema dari film ini berpotensi untuk menghadirkan pembicaraan yang baik tentang kemanusiaan, budaya, keberagaman, persatuan, gotong royong dan nilai-nilai lain yang biasa orang Indonesia dapatkan dari pelajaran PPKN. Bujet yang besar memungkinkan Film Asli Netflix ini untuk melakukan eksplorasi, mungkin bahkan sedikit riset, tentang asal-usul ras-ras yang ada dalam film ini, apa perbedaan mereka, apa kelebihan dan kekurangan mereka selain dari letak mereka dalam kelas ekonomi, dan sebagainya. Dana yang besar ini juga telah memungkinkan Bright untuk merekam adegan-adegan gokil seperti sebuah slowmotion yang mampu memberikan sedikit eksposisi tentang tingkat kapabilitas karakter-karakter dan benda-benda disekitarnya.
Namun agaknya, benar kata orang ketika segala sesuatu yang baik namun terlalu banyak tidaklah bagus. Pertama, terlalu banyak hal yang dipaparkan sekaligus. Saya pernah diajarkan bahwa tiap frame dalam film harus dapat dipertanggungjawabkan. Bagaimana satu film berdurasi 1 jam 57 menit dapat mempertanggungjawabkan alasan dari puluhan hal yang muncul di satu menit pertama film ini? Kita bahkan belum bicara karakter, itu untuk nanti! Kita sedang bicara latar tempat, suasana, bagaimana sebenarnya dunia yang telah diciptakan Max Landis dan David Ayer.
David Fincher dalam film Seven menggunakan menit-menit pertama filmnya untuk mengeksposisi sekaligus meng-intrigue penontonnya, namun sebagian besar (jika tidak semua) hal yang berseliweran di depan mata penonton berfokus pada satu hal yang dapat dijelaskan di akhir cerita. Bright meninggalkan terlalu banyak hal tidak dijelaskan karena terlalu banyak yang perlu dijelaskan sehingga hasilnya adalah banyak ketidakjelasan. Bingung, kan?
Kedua, dan masih berkaitan dengan yang pertama, banyak sekali karakter yang ingin mengatakan sesuatu tentang masa lalunya. Anehnya, justru karakter yang hanya ‘bersinggungan’ dengan ceritanya mendapatkan lebih banyak waktu untuk menjelaskan dari mana dia datang, apa yang dia lakukan, tapi kita masih tidak tahu banyak tentang kedua polisi teman-tapi-nggak bahkan sampai film berakhir.
Kedua hal ini, alih-alih sebuah resep keberhasilan, adalah resep bencana: plot yang lemah. Kita tidak dibekali satu garis cerita yang lebih tebal dari garis cerita lainnya untuk kita ikuti, kita tidak diberikan cukup banyak waktu untuk berempati terlalu banyak, kita tidak disuguhkan ruang berpikir secara logis karena tidak sempat ditawarkan untuk percaya pada aturan-aturan dasar dunia film Bright. Cara saya mengucapkan dikasih berulang-ulang dengan kata yang berbeda kurang lebih sama dengan cara Bright menampilkan satu ide yang diulang-ulang dengan dialog yang dibeda-bedakan sedikit sepanjang alur film. Saya rasa, kedua hal di atas disebabkan oleh hal ketiga, terlalu banyak uang untuk kalibernya. CGI dan kamera dimana-mana menjadi kunci produksi yang tidak terlalu kreatif. Baik itu dari segi sinematografi yang separuh jalan menarik hanya untuk separuh jalan bergantung pada potongan-potongan se-brutal adegan yang berusaha ditunjukkan, maupun segi jalan cerita.
Dalam sebuah kolom trivia, saya mendapatkan informasi bahwa Jake Gyllenhaal dan Michael Peña melalui buddy camp supaya keakraban benar-benar terasa. Will Smith dan Joel Edgerton bergantung pada keahlian masing-masing yang luar biasa, namun ikatan yang biasa antara keduanya menjadi batu sandungan dalam penyampaian konflik antara keduanya. Film Chronicle tidak bergantung pada sebuah benda untuk menciptakan keterdesakan, manusia secara sederhana mendesak satu dengan yang lain. Mungkin, dilengkapi dengan video tambahan berdurasi 2 menit, ditambah juga dengan film lanjutan ‘Bright 2’, kita akan lebih mengerti Bright. Namun saya rasa, film yang baik membiarkan penontonnya mengerti apa yang terjadi terlepas dari apa yang sudah dan akan hadir untuk melengkapinya.