JK Rowling, Berhentilah Menulis Naskah Kalau Kau Eksekutif Produser

0
373

Fantastic Beast: Crimes of Grindelwald mungkin bertebaran bintang-bintang yang sudah tidak perlu disebutkan lagi. Film ambisius, panjang, dengan CGI terkini dan efek-efek keren. Permasalahan utamanya: entah mau dibawa ke mana film ini dalam semesta Harry Potter yang dibuat tidak konsisten. Kami tidak mau jadi Potterhead Snob yang melist apa saja inkonsistensinya. Lebih dari itu, kami cuma akan menyampaikan rasa subjektif yang membuat kami tidur hampir separuh film. Film Michael Bay mungkin lebih membuat bangun, karena walau jelek, Bay punya ledakan di mana-mana yang membuat susah tidur. Dan Megan Fox sih, aduh.

Sementara Crimes of Grindelwald tidak punya itu semua. Beberapa hal yang jelas, ini bukan film anak-anak seperti Harry Potter 1-3. Ini film dewasa dengan latar belakang menjelang Perang Dunia II dan kelahiran fasisme–yang menjadi salah satu latar belakang karakter Grindelwald. Walau secara penyutradaraan, produksi, dan efek spesial, film ini jelas tidak mungkin bisa dibuat orang Indonesia dalam waktu beberapa dekade ke depan, namun secara cerita, kami rasa beberapa film Indonesia lebih matang daripada ini. Bukannya sombong, plot film ini memang sedemikian ribetnya dan tidak konsisten dengan dunia yang sudah dibuat sebelumnya dalam Harry Potter.

JK Rowling sebagai penulis naskah dan kreator franchise, mungkin harus banyak belajar pada George Lucas dan Disney. Ya, bahkan korporat Disney yang telah membeli franchise Star Wars dari Lucas pun tahu diri untuk setia pada semesta yang telah dibuat. Ketika CoG berkutat pada tahun 1927, beberapa tahun sebelum Tom Marvolo Riddle hadir, dan homoerotisme antara Dumbledore dan Grindlewald dibuktikan secara subtil namun lebih berani daripada di buku Harry Potter, terlalu banyak detil yang diberikan secara verbal dan bukan secara visual. David Yates pasti lumayan megap-megap menyutradarai teater ini–ya, banyak adegan lebih menjadi pementasan teater yang difilmkan daripada filmnya sendiri.

Yang mengganggu tentunya detail-detail besar kronologis dan karakter-karakter, dari McGonnagall, yang kok tahun 1927 udah jadi guru di Hogwarts; sampai Nagini yang konon dari Indonesia, bermuka Tionghoa, nama dari India, dan dimainkan oleh orang Korea Claudia Kim. Netijen Indonesia udah ribut-ribut aja soal apropriasi budaya macam ini, tapi toh orang India, woles-woles aja tuh Mahabaratanya diambil jadi Wayang Jawa. Kebiasaan.

Tapi sudahlah, dari semua itu, banyak kok yang enak ditonton dari film ini. Tapi kami sarankan jangan nonton di bioskop, apalagi yang suka mabuk kendaraan. Ini film pusing banget dan banyak kilat-kilatnya tanpa ada disclaimer apa-apa. Bayangin naik roller coaster dua jam lebih, terus disuruh dengerin dialog-dialog panjang. Kalo nggak tidur, ya muntah lah.

Tapi susah sih kalau eksekutif produser juga nulis naskah tapi terkenal nggak bisa dikritik. Secara pemegang kekuasaan terbesarnya kan dia. Begitu filmnya flop gini, mau apa coba?

REVIEW OVERVIEW
Akting
Naskah
Produksi
Production Design
Editing
Sinematografi
SHARE
Nosa Normanda adalah seorang Antropolog, Filmmaker, Producer dan Video Jurnalis internasional. Ia salah satu pendiri MondiBlanc Film Workshop.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here