Hula Sobat Mondi, selamat datang! Di segmen ini, Admin akan full ngebacot soal sutradara nyentrik kelewat gothic kesayangan Hollywood: Papap Tim Burton. Di sini, lo akan diajak untuk mengungkap metode yang dipakai Papap sebagai konseptor, produser, sutradara, dan animator. Lebih jauh lagi, lo akan dibikin njawab sendiri mitos soal Papap, whether dia beneran asli dark abis atau nggak. Semoga bisa ngebantu dalam memulai penggarapan film lo, ya!
“KOK GUE NULIS NASKAH GAK MULAI DARI LOGLINE, YA?”
Sebelum gue mulai ngomong apa pun, kalian uda tau logline itu apa belum? Buat yang belum tau, cari Part I dari tulisan ini ya karena gue lagi seru banget cerita tentang Papap Tim Burton dan metodenya membangun cerita JANGAN POTONG GUE OKE.
BATMAN: BABANG GARANG HATI HELLO KITTY
Setelah beken, si Papap ditawarin nyutradarain live action-nya “Batman” (1989) sama Warner Bros. Nah si papap sesungguhnya gak into komik (gak into komik tapi nggambar kartun, gimana sih), tapi Babang Batman ini pengecualian. Karena, lagi-lagi, karakternya layered dan deep banget secara psikologis, menurut Papap. Maka kuy mari naskah Papap garap gitu kan.
Buat Papap, Batman jadi demikian menarik karena dia superhero yang freak banget. Superhero di mana-mana tuh flashy, berbangga, show off, karena dari situlah secara visual kita bisa nangkep kekuatan mereka yang di luar batas manusia biasa. Babang Batman, di sisi lain, malah sembunyi di balik kostum kalong wkwk apasih nyet. LO KUAT WOI NAPA SEMBUNYI DI BALIK KOSTUM KALONG, RANDOM BANGET?!?!
Menurut Papap, Babang Batman butuh sembunyi biar menjadi apa yang bukan dirinya. Dari penampakannya, Babang bahkan kalah kuat dan kalah mentereng sama musuh bebuyutannya sendiri, Joker. Baju item semua uda kayak ada yang mati. Nyaru sama bayangan. Pahlawan apa maling. Tapi itu. Dia, secara fisik, barangkali gak merasa punya that thing yang bikin dia jadi superhero. Tapi, karakternya yang misterius banget, kayak uda ngalamin asem garem kehidupan, menempa dia untuk jadi cukup kuat. Kepribadian yang kompleks ini yang bikin Papap bergairah, dan dari situlah naskah adaptasinya digarap.
Karena budget-nya kali ini banyak, jadi imajinasi Papap lebih tak terbatas. Ah masa iya? Iya, karena efek-efek visualnya bisa lebih canggih, dengan teknologi-teknologi yang lebih mutakhir, yang dalam konteks produksi ini jadi mampu tersedia. Dunianya bisa jadi lebih epik, dibanding Pee-Wee. Tapi nggak, karena kompromi-kompromi yang harus dibikin untuk melayani rikues para pemilik modal lebih banyak.
Jadi apakah ada bedanya bikin naskah buat produksi kecil dengan bikin naskah buat produksi gede? Ada, yang harus direlakan beda. Tapi, apakah lebih enak dan bebas? Nggak juga sist.
ED WOOD, KARAKTER YANG KEK SAMPAH
Jadi ada seorang filmmaker yang demi allah aneh banget. Dia pernah, mulai dari berperan sebagai wanita berkumis di sirkus — bahkan dengan suka cita bikin dan masang toket artifisial sendiri, just for the sake of fun — sampai bikin novel seks esek-esek dan stensilan. Film-film yang dia bikin selalu low budget dan aneh banget taste-nya, sampe-sampe gada yang mau bantuin dia huhu. Dia jadi beken gara-gara film-filmnya jadi bahan tertawaan. Doi adalah Ed Wood.
Terus Papap Burton naksir dong sama karakter yang rasanya gak layak jadi tokoh utama cerita ini… Dia berasa mirip aja, dan bahkan emotionally connected, dan voila, beneran loh Papap jadiin film komedi drama biografinya “Ed Wood” (1994). Papap merasa ketertarikan Ed Wood terhadap horor dan fantasi-fantasi yang pure aneh sama kayak ketertarikan dia, termasuk juga kesamaan hubungan kekeluargaan yang aneh antara junior-senior yang mereka bagi: Ed Wood dengan Bela Lugosi, Tim Burton dengan Vincent Price.
Papap bilang, film jelek tuh banyak. Buanyak banget. Tapi, dari sekian banyak film jelek, film-film karya Ed Wood yang dianggap jelek itu dapet respon yang masif, walau dalam bentuk cemooh. Dan buat Papap, itu spesial dan menarik banget. Maka, gak ada karakter yang gak layak garap, atau gak utuh. Yang ada hanya karakter yang belom lo gali, atau belom lo kenal benar.
MANGGA MULAI NULIS SIST
Jadi, pada momen yang berbahagia ini, gue pingin mendoakan temen gue yang kepo sama bapak-bapak tua di halte itu agar jadi penulis hebat. Dan selamat ya buat yang nulis dari karakter dulu, lo gak aneh. Kalau ada dosen lo atau senior lo atau sapelah orang sotoy bilang cara lo salah, balikin ke dia: Tim Burton bikin cerita juga dari karakter dulu jing.
Iya sih bukan dia penulis naskahnya, dia sutradara. Tapi apakah kemudian sutradara gak bikin narasi dalam kepalanya? Terbukti loh metode pembentukan narasi di kepala Papap, dengan dimulai dari karakter, bisa tetep jalan. Lagian, di awal-awal juga dia nulis naskah sendiri, kali. Ngga sih dia lebih ke bikin storyboard animasi. But the point is how to come up with a story, right? And starting from the character could work well, man.
Dan kalau mereka bilang lagi Tim Burton tuh jenius, dan lo nggak bisa karena lo gak jenius… waw, dipentung aja pake tongkat sapu. Ed Wood pernah nanya:
“What is talent, and what is not talent?”
Bro, gak ada pakemnya kok. Tim Burton sendiri aja bilang jadi diri lo sendiri aja. Tuangin seluruh gairah kreatif lo, seaneh apapun bentuknya, sebeda apapun metodenya. Baik itu dimulai dari logline, maupun dari karakter. Abaikan warga Burbank membosankan yang hobinya ngomentarin lo.
Oke? Yang penting mulai dulu sih. Kok microsoft word lo masih kosong? Uda mulai belom woi jangan ditunda mulu makanyaaa…