Pendekatan Empati di dalam Penyutradaraan ala Angkasa Ramadhan

0
144

Angkasa Ramadhan adalah sutradara film-film pendek pemenang penghargaan dalam dan luar negeri Film-filmnya khas dengan akting dan wacana yang kuat. “Bunglon” (2012), misalnya, bicara tentang Poligami. Sementara di “Membicarakan Kejujuran Diana” (2021), wacana yang dibawakan adalah parenting, kritik sistem pendidikan, dan politik identitas. Wacana-wacana ini dipresentasikan lewat akting dan drama yang kuat; sebuah pendekatan atau treatment penyutradaraan yang khas. Saya mewawancarai Angkasa yang kebetulan sedang menjadi mentor untuk kelas penyutradaraan FPS 2024 MondiBlanc Film Workshop. Dalam wawancara tersebut, Angkasa menceritakan asal mula keinginannya menjadi sutradara, metodologi pengajaran penyutradaraan yang terpusat pada aktor, dan penggunaan empati bukan hanya untuk membuat cerita yang baik, tapi juga untuk berkolaborasi dalam membuat film yang baik.

***

Sejak kecil ketika Angkasa sudah hobi menonton film, itulah yang membuat cita-cita menjadi sutradara tertanam kuat. Di kota tempat ia tumbuh, Pontianak, Angkasa terekspos pada film dari TV nasional–dalam acara seperti Layar Emas di RCTI di tahun 90-an. Tapi film di TV tidak cukup untuk memberi makan imajinasinya,  maka ia memohon pada orangtuanya untuk dibelikan DVD player. DVD membuat referensi-referensi film Angkasa kecil semakin meluas, dan cita-cita menjadi sutradara film menjadi tambah kuat. Salah satu film yang menjadi inspirasi sejak kecilnya adalah The Lord of The Rings, karya Peter Jackson. “…Film lord of the Rings ini aku selalu puter setiap tahun, inilah yang melahirkan naluri untuk menjadi Sutradara.”

Angkasa di set syuting Membicarakan Kejujuran Diana.

Cerita yang panjang, penuh liku dan drama, kita persingkat, bahwa keinginan yang kuat, ego, dan kerja keras membuat Angkasa bisa masuk ke sebuah sekolah film dan belajar menjadi sutradara. Dalam proses belajar penyutradaraan di kampus dan di luar kampus, Angkasa menyadari bahwa gaya penyutradaraan yang cocok untuknya adalah penekanan di keaktoran. Angkasa sangat menikmati berproses dengan aktor karena banyak sekali yang bisa dieksplorasi. Aktor memanusiakan karakter di dalam film, dan manusia itu kompleks, dinamis serta mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Jadi ketika diskusi soal film dan karakternya, pengembangan ide akan terus berjalan semakin sempurna. Menurut Angkasa, bekerja dengan aktor itu seperti curhat soal karakter dan ceritanya, seakan-akan cerita yang akan difilmkan ini adalah nyata dan dialami semua aktor yang terlibat. Reading season adalah tahap yang paling ia nikmati karena ia dan aktornya bisa lebih eksploratif dalam pencarian karakter. 

Tahun ini, Angkasa mengajar di kelas Directing FPS 2024. Sebagai pengajar, ia mempunyai metode directing khusus yang diajarkan kepada pesertanya yang telah ia pelajari bertahun-tahun lewat pengalaman lapangan: empati. Menurut Angkasa, point utama yang harus dimiliki seorang calon sutradara adalah empati, khususnya empati terhadap diri sendiri dulu, kenal terhadap diri sendiri dulu, karena jika seseorang belum mengenal dirinya sendiri dia tidak akan bisa menciptakan karya dan mengarahkan orang lain baik aktor ataupun krunya. Empati pada diri sendiri membuat sutradara mengerti apa yang ia bisa dan tidak bisa, membuatnya menjadi jujur, rendah hati, dan yang terpenting tahu cerita apa yang ingin ia sampaikan dan untuk apa.

Angkasa mengajar kelas Directing FPS 2024.

Empati pada diri sendiri bukan berarti mengasihani diri, namun mengerti dan memahami trauma dan rasa sakit yang dialami diri sendiri, menerimanya, dan memprosesnya menjadi energi kerja yang positif untuk dibagikan kepada orang lain, dan bukan dipaksakan. Selama seorang calon sutradara tidak punya empati pada dirinya sendiri, ia akan memaksakan ide-ide tidak realistis baik pada dirinya sendiri dan pada orang lain, dan itu akan menghalangi kolaborasi dan kerjasama antara sutradara dengan kru-kru yang lain.

Setelah empati pada diri sudah selesai, seorang calon sutradara harus mempraktikan empati itu kepada orang lain, dari mulai orang tidak nyata seperti tokoh di dalam cerita, sampai orang-orang yang nyata seperti kru produksi, aktor lain, dan terakhir dan terpenting: PENONTON. Film yang dibuat berdasarkan empati-empati ini akan dapat membagikan rasa empati yang sama ke penonton. Dengan empati tersebut, penonton tidak hanya akan merasakah sakit dan traumanya tokoh, tapi juga mengerti representasi-representasi yang disajikan, permasalahan-permasalahan nyata di dunia. Tapi darimana kita harus memulai empati kita?

Ken Iswari (kiri), salah satu calon sutradara FPS 2024 sedang berdiskusi dengan aktor Dinda Soediono (tengah) dan Heriska Sutapha (kanan).

Proses kreatif penyutradaraan Angkasa Ramadhan dari ide hingga menjadi sebuah film dimulai dari pikiran yang terbuka terhadap realitas sosial yang terjadi di sekitar kita. Kepekaan diperlukan karena karena cerita itu sesungguhnya ada dimana-mana. Semua orang punya masalah. Mencari ide, buat Angkasa, bisa berawal dari sesuatu yang kecil, yang dapat menjadi besar dan bermakna setelah kita asah. Angkasa mengambil contoh dalam karyanya yang berjudul “Membicarakan Kejujuran Diana”. Sebagai catatan: ini adalah sebuah film kontroversial yang mengkritik sistem pendidikan Indonesia, parenting yang toxic, dan identitas politik islam yang keras. Sebuah film yang penuh resiko soal perempuan dan hak atas tubuhnya.

Awal ide ini terbentuk ketika Angkasa risih dengan anak-anak perempuan yang dituntut untuk memakai hijab di luar kemauan mereka, oleh tekanan-tekanan sosial. Setelah itu Angkasa dan tim mengembangkan ceritanya ini; bersama produser dan penulisnya Rien Al Anshari, ia kembangkan cerita dengan riset, peer review, script lab, dan lapisan-lapisan saran. Ia sempat ragu, apakah film dengan tema kontroversial tentang seorang anak perempuan cerdas yang mempertanyakan norma sosial, dapat diterima di publik. Ia tidak menyangka film tersebut bisa memberikannya beberapa piala dalam berbagai kategori seperti Film pendek terbaik, sutradara terbaik, editing terbaik hingga penulis cerita terbaik, special mention dari juri dari berbagai festival film ternama. 

Sekarang Angkasa sedang berhadapan dengan banyak project film secara paralel, termasuk menyelesaikan pengajarannya di FPS 2024 MondiBlanc. Khusus untuk FPS 2024 yang ia ajar, Angkasa berharap para filmmaker muda ini dapat menghasilkan film yang bagus, dengan kualitas terbaik yang bukan hanya narasi plot semata untuk menyelesaikan tugas, tapi mengandung kompleksitas tertentu terutama di dalam karakter yang dimainkan oleh aktor-aktornya. Empati juga ia pakai untuk mengajar, dan ia merasakan semangat, daya kritis, serta kegigihan kawan-kawan yang ia mentori. “Mungkin bagi mereka aku adalah mentor mereka, dan bagi aku mereka adalah mentorku,” katanya dengan bangga.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here