oleh: Alfina Nurmayati
Aku sangat menyesal tidak bisa menonton Last Night in Soho di Bioskop. Sebenarnya sudah ada niatan, bahkan sudah datang ke bioskop yang di website-nya terpampang informasi masih menayangkan filmnya. Sayangnya saat aku datang ke sana ternyata jadwal filmnya diubah lebih cepat dan parahnya itu hari terakhir filmnya tayang di bioskop Indonesia. Jadi tidak ada hari esok lagi untuk film ini. Kecewa, tapi mau bagaimana lagi.
Singkat cerita setelah beberapa menunggu akhirnya ada kesempatan untuk menonton filmnya di platform streaming. Ternyata setelah nonton filmnya, rasa kecewa itu semakin mendalam karena film ini sangat indah. Benar-benar disayangkan aku tidak bisa nonton film ini di bioskop. Oh iya, kalau tidak salah waktu itu film ini tayang bersamaan dengan film MCU yang bisa jadi membuat film ini kalah pamor, jadilah jadwal tayangnya sangat singkat.
Oke cukup bahas rasa kecewaku, mari sekarang bahas filmnya.
Aku adalah tipe penikmat film yang cenderung lebih fokus ke cerita—yang tentu saja menarik bagiku—karena aku tidak terlalu paham teknis-teknis sinematografi, tapi film ini membuat aku kagum atas sinematografinya. Aku sangat kagum dengan adegan-adegan cermin dan adegan dansa dua tokoh utama film ini yakni Eloise dan Sandy dengan si Jack. Aku sangat kagum akan adegan dansa itu, karena sebelumnya aku pernah melihat film dengan shot seperti itu. Adegan itu membuat aku yang biasanya cenderung tidak peduli bagaimana teknis pengambilan gambar di film jadi penasaran dengan hal itu. Hampir semua shot pergantian antara Eloise dan Sandy yang buat aku itu spesial. Ah, pokoknya buat aku yang tidak terlalu paham sinematografi film ini sangat indah untuk dilihat.
Aku suka alur cerita film ini. Ceritanya berkutat pada Eloise yang baru pertama kali ke kota metropolitan London untuk menempuh pendidikan sebagai fashion designer. Eloise ini ternyata indigo tapi konsep indigonya menarik karena dia tidak sembarangan bisa melihat ‘hantu’. Dengan karakter Eloise yang seperti itu menjadi masuk akal ketika dia pindah dari asrama dan ngekost sendiri, dia mulai melihat serta merasakan pengalaman Sandy sosok yang muncul di dalam mimpinya ketika dia berada di kamar kost-nya itu. Penelusuran akan sosok Sandy yang muncul di dalam mimpinya itulah yang menjadi plot utama dalam film ini. Selama penelusuran itu aku dibuat merasakan ketegangan, kesedihan, dan ‘gregetnya’ Eloise untuk menyelamatkan sosok Sandy yang sebenarnya masih belum jelas sosok itu benar-benar ada atau tidak. Namun mengingat Eloise indigo jadi aku tentu saja menebak sosok Sandy itu benar-benar ada di tahun 60-an dalam film ini.
Aku tidak bisa menebak ending film ini gimana, tapi ketika ending-nya seperti itu aku tidak terlalu heran. Mungkin karena aku sadar ada beberapa hint di sepanjang film yang menuju ke arah itu. Malah yang menurutku plot twist nya ada di pak tua Handsy yang selama ini dikira Eloise, dia adalah Jack malah seorang polisi yang mencoba menyelamatkan Sandy. Sayangnya Sandy sudah terlalu terjerumus dan tidak ingin ‘diselamatkan’. Sepanjang film aku diajak untuk menebak-nebak apa yang munkin telah terjadi kepada Sandy, dan seberapa berpengaruh hal itu ke dalam kehidupan Eloise.
Ada beberapa hal yang membuat aku merasa relate kepada Eloise. Pertama tentu saja culture shock melihat pergaulan dan tingkah laku teman kuliah. Eloise di sini digambarkan sebagai anak ‘baik-baik’ yang ketika tiba di London malah ketemu kaum mendang-mending yang suka jadi pusat perhatian dengan pergaulan bebasnya. Aku bisa merasakan kagetnya Eloise berada di London, sampai dia punya dunianya sendiri di dalam mimpi yang ternyata akan menuntunya ke kehidupannya yang baru.
Saking relate-nya sama Eloise, aku juga jadi mengagumi karakter Sandy. Rasanya ingin bisa seberani Sandy, sekuat Sandy, secantik Sandy, sepintar Sandy. Ya, bagiku Sandy sangat pintar karena dia bisa menyembunyikan mayat-mayat semua laki bejat yang memanfaatkan dia itu selama berpuluh-puluh tahun. Namun hal ini juga yang jadi kelemahan dalam film ini karena sulit membayangkan satu orang bisa melakukan pembunuhan sebersih itu. Tapi aku tetap suka karakter Sandy. Memang sulit kalau sudah bias.
Film ini juga salah satu film yang berhasil membuatku aware dengan soundtrack dalam film. Artinya aku sadar bahwa film itu bisa bagus kalau didukung oleh latar musik yang pas dengan suasana dalam film. Sampai saat ini aku masih mendengarkan lagu Downtown yang di-remake dengan suara indah Anya Taylor Joy pemeran karakter Sandy. Ah, pokoknya aku benar-benar jatuh cinta dengan Anya Taylor Joy di film ini.
Tidak ada banyak yang bisa aku kritik terkait film ini karena aku sangat menikmati film ini. Dinamika sepanjang filmnya membuatku tidak bosan menontonnya. Justru aku kagum dengan film ini karena sutradaranya yakni Edgar Wright telah berhasil membuat cerita yang bagus itu menjadi sebuah film yang indah dan menarik untuk ditonton. Sebagai penutup, aku hanya ingin bilang bahwa film ini sangat menarik untuk ditonton terutama bagi para pecinta film genre misteri.