Yang Dibina Justru Dibayar

0
164

PERKEMBANGAN dunia film Indonesia yang sedikit mulai punya ruang napas menjadi sebab antusiasme masyarakat untuk menikmati karya para sineas dalam negeri. Hal itu tentunya perlu dilanggengkan dengan ketersediaan tenaga kerja profesional dalam dunia perfilman. “Karena sekolah film kita cuma sedikit dan mahal banget. Padahal, orang-orang film butuh tenaga kerja yang bisa profesional untuk mendukung keberlangsungan industri,” terang Nosa Normanda. Motivasi itu melandasi kelahiran Mondiblanc oleh Nosa dan rekan-rekannya. Selain sebagai penyedia sumber daya mumpuni bidang film, Mondiblanc juga punya cita-cita untuk menjadikan pendidikan terakses semua kalangan. “Saya ingin anak-anak nantinya ketika belajar pun mereka akan dibayar untuk bikin proyek,” tegasnya. Nosa pernah bekerja selama 2 tahun di salah satu rumah produksi (PH) di Amerika. Di sana, ia mendapati model PH yang bisa bermanfaat bagi masyarakat sekitar dengan menggadakan pelatihan maupun mengajak mereka memproduksi film. Nosa ingin menerapkan semangat serupa di Mondiblanc.
Yang Dibina justru Dibayar
“Di sana (Amerika), saya belajar bahwa PH itu bisa banyak gunanya untuk masyarakat lokal, salah satunya workshop, bikin-bikin film, tanpa ada biaya keluar,” terang Nosa. Warga binaan Mondiblanc mendapat tugas untuk membuat proyek film dalam skala kecil sembari mempraktikkan ilmu yang mereka dapat. Film-film itulah yang akan menghasilkan uang. Dari penghasilan proyek tersebut, dikembalikan untuk warga binaan. “Jadi, kita bikin proyek-proyek kecil untuk tugas-tugas mereka dan mereka ini beberapa, yang bagus-bagus, ada di bayar. Mereka dapat uang, bukan cuma gratis,” tambah Nosa. Sistem itu sudah terbukti berjalan di Mondiblanc. Warga binaan belajar, warga binaan juga dibayar. Meski demikian, Nosa tetap saja menghadapi kendala. Masalah bukan muncul dari susahnya mencari tenaga pembina profesional. Justru yang pelik ialah memberikan pemahaman bahwa pendidikan itu harusnya bisa gratis dan produktif, tetapi tetap berkonsekuensi. Menurutnya, pada beberapa angkatan, didapati beberapa warga binaan yang belum bisa menerima konsep itu. Lantaran gratis, mereka meremehkan, tidak serius, dan berbuat seenaknya. Oleh karenanya, proses penerimaan warga binaan pun diperketat. “Ada beberapa masalah gitu, kayak produknya tidak jadi dan mereka menyia-nyiakan. Makanya kita sekarang perketat masuknya, dengan wawancara dan portofolio. Jadi, dipastikan bahwa yang masuk ini memang niat belajar dan produksi film, bukan datang untuk coba-coba doang.” (Zuq/M-2)

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/224917-yang-dibina-justru-dibayar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here